Selamat Datang

Assalamu'alaikum, wr wb.
Silahkan melihat, mempelajari atau mengunduh isi materi artikel dalam blog ini, juga sampaikan tabayyun demi kebaikan bersama, dan jangan lupa do'a buat pemilik blog ini. Semoga bermanfaat, Wassalam.

Sabtu, 16 Juli 2011

SUMBER DAN PEMBENTUKAN PRASANGKA

Menurut kebanyakan telaah, prasangka terhadap manusia lain bukanlah suatu tanggapan yang dibawa sejak lahir, tetapi yang dipelajari. Singkatnya, kita belajar dari orang-orang lain menggunakan jalan pintas mental prasangka. Sebagai kanak-kanak, kita menempuhnya melalui tahap-tahap yang disebut para psikolog sebagai proses modeling- identifikasi- sosialisasi, dan selama proses inilah, prasangka bisa diperoleh.
            Orang tua dianggap sebagai guru utama prasangka, terutama karena pengaruh mereka paling besar selama tahap modeling, yaitu masa ketika anak-anak berusaia di bawah lima tahun. Modeling adalah proses saat anak-anak meniru orang lain, biasanya orang tua mereka.
            Jika anak-anak meningkat usianya dan masuk sekolah, mereka cenderung terpengaruh oleh teman sebayanya. Selama tahap ini, mereka mengidentifikasi diri dengan meniru model-model mereka. Namun, begitu usia anak-anak lebih dari sembilan tahun, hubungan orang tua mulai menipis, dan orang lain mulai melakukan pengaruh yang kuat pada nilai-nilai mereka. Dukungan teman sebaya, umpamanya, cenderung menjadi serba penting. Pada tahap ini, sosialisasi telah terjadi.
            Sebagaimana halnya pada sikap, prasangka muncul dari sumbr-sumber tertentu yang terdapat dalam kelompok atau masyarakat yang mempunyai prasangka itu. Sumber utama yang bisa menghasilkan prasangka adalah perbedaan antar kelompok, yakni perbedaan antar etnis atau ras, perbedaan posisi dalam kuantitas anggota yang menghasilkan kelompok mayoritas dan kelompok minoritas, serta perbedaan ideology. Sumber lain dari prasangka adalah kejadian historis.
            Prasangka yang bersumber pada perbedaan etnis dapat ditemukan pada masyarakat heterogen yang merangkum berbagai kelompok etnis yang memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda, misalnya pada masyarakat Indonesia. Adapun prasangka yang bersumber pada perbedaan ras (juga agama) sering ditemukan pada masyarakat yang multirasial, seperti di Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa yang secara fisik (warna, kulit, bentuk tubuh, fisiognomi) ras yang satu berbeda dengan ras yang lainnya.
            Selanjutnya prasangka yang bersumber pada perbedaan ideology bisa ditemukan pada masyarakat di Negara yang memiliki orientasi yang kuat terhadap ideology lain yang menjadi lawannya dalam konteks persaingan global. Contoh prasangka yang bersumber pada perbedaan ideology ini adalah prasangka orang Amerika terhadap orang komunis, atau sebaliknya. Adapun prasangka yang bersumber pada kejadian histories adalah prasangka dari sekelompok orang terhadap sekelompok orang lainnya dalam suatu masyarakat, bertolak dari kejadian masa lampau dari masyarakat tersebut. Pada umumnya kelompok yang berprasangka adalah kelompok yang para pendahulunya pada masa lampau memegang kendali dan memperlakukan para pendahulu kelompok yang dikenai prasangka dengan perlakuan-perlakuan yang tidak layak dan diskriminatif. Contohnya adalah prasangka dari kelompok orang kulit putih terhadap orang-orang Negro di Amerika Serikat, yang berakar pada sejarah perbudakan orang-orang Negro oleh para pionir kulit putih, 300-an tahun yang lalu. Walaupun Amerika Serikat telah mengalami perubahan social politik yang yang besar, sikap dan prasangka dan anggapan stereotip tentang orang Negro (manusia pemalas, bodoh, brutal) pada sebagian anggota masyarakat kulit putih, tetap ada.
            Seperti halnya sikap, begitu pula halnya dengan prasangka, yang tidak dibawa manusia sejak ia dilahirkan. Prasangka terbentuk selama perkembangannya, baik didikan maupun dengan cara identifikasi dengan orang lain yang sudah berprasangka. Dalam proses penelitian, tampak bahwa di sekolah-sekolah internasional, misalnya, tidak terdapat sedikitpun prasangka social pada anak-anak sekolah yang berasaal dari bermacam-macam golongan, ras atau kebudayaan. Mereka baru akan memperolehnya di dalam perkembangannya apabila kemudian mereka bergaul erat dengan orang-orang yang telah mempunyai prasangka social. Hal ini berlangsung dengan sendirinya dan pada taraf tidak sadar melalui proses imitasi, sugesti, identifikasi, dan simpati, yang memegang peranan utama dalam interaksi social itu. Dalam kaitan ini, secara tidak sadar mereka lambat laun memperoleh sikap-sikap tertentu terhadap golongan-golongan tertentu, yang pada gilirannya dapat melahirkan stereotip-stereotip.
            Dilihat dari sudut psikologi perkembangan, terbentuknya prasangka pada manusia merupakan kelangsungan yang tidak berbeda dengan perkembangan sikap-sikap lainnya. Pembentukan prasangka semacam itu dapat berlangsung terus sejak anak usia dini sampai orang itu menjadi dewasa. Prasangka bisa terbentuk dari usia anak-anak melalui proses belajar social.
            Seorang anak bisa berprasangka karena ia sendiri telah mengalami pengalaman tidak enak yang pernah dilihat atau didengarnya terjadi pada orang lain. Sejak usia dini, anak-anak telah dipengaruhi oleh sikap yang diperlihatkan oleh orang tua mereka. Dengan demikian, apabila tidak ada pengaruh yang datang dari faktor-faktor yang lain, seorang anak cenderung untuk memperlihatkan sikap menentang terhadap seseorang yang tidak disukai oleh orang tuanya, meskipun ia belum pernah mempunyai pengalaman yang cukup berarti dengan orang-orang tadi.
            Terdapat lima perspektif dalam menentukan sebab-sebab terjadinya prasangka. Kelima perspektif tersebut merupakan suatu kontinum, dari ppenjelasan sifat secara makroskopis histories sampai pada penyelesaian mikroskopis pribadi. Berikut adalah penjelasannya:

  1. Perspektif Hostoris
Perspektif ini didasarkan atas teori pertentangan kelas, yakni menyalahkan kelas rendah yang inferior; sementara mereka yang tergolong dalam kelas atas mempunyai alas an untuk berprasangka terhadap kelas rendah. Misalnya, prasangka orang kulit putih terhadap Negro mempunyai latar belakang sejarah, orang kulit putih sebagai “tuan” dan orang Negro sebagai “budak” antara penjajah dan yang dijajah, dan antara pribumi dan pribumi.

  1. Perspektif Sosiokultural dan Situasional
Perspektif ini menekankan pada kondisi saat ini sebagai penyebab timbulnya prasangka, yang meliputi:
    1. Mobilitas social. Artinya, kelompok orang yang mengalami penurunan status (mobilitas social ke bawah) akan terus mencari alas an tentang nasib buruknya dan tidak mencari penyebab sesungguhnya.
    2. Konflik antar kelompok. Prasangka dalam hal ini merupakan realitas dari dua kelompok yang bersaing; tidak selalu disebabkan kondisi ekonomi.
    3. Stigma perkantoran. Artinya bahwa ketidak amanan dan ketidak pastian di kota disebabkan “noda” yang dilaukakan kelompok tertentu.
    4. Sosialisasi. Prasangka dalam hal ini muncul sebagai hasil proses pendidikan orang tua atau masyarakat di sekitarnya, melalui proses sosialisasi mulai kecil hingga dewasa.
  1. Perspektif Kepribadian
Teori ini menekankan pada faaktor kepribadian sebagai penyebab prasangka yang disebut dengan teori “frustasi agregasi”. Menurut teori ini, keadaan frustasi merupakan kondisi yang cukup untuk timbulnya tingkah laku agresif. Frustasi muncul dalam kehidupan sehari-hari yang disebabkan oleh atasan (status yang lebih tinggi), yang tidak memungkinkan untuk mengadakan perlawanan terhadapnya, apalagi dengan  tingkah laku agresif. Keadaan ini sering membuat pengalihan (displacement) dari rasa kesalnya ke satu sasaran yang mempunyai nilai yang sama, namun tidak membahayakan dirinya. Akan tetapi, ada orang yang mengalami frustasi, tidak memiliki sikap frustasi. Atas dasar ini, para ahli beranggapan bahwa prasangka lebih disebabkaan adanya tipe kepribadian dengan ciri kepribadian authoritarian personality.

  1. Perspektif Fenomenologis
Perspektif ini menekankan pada cara individu memandang atau memersepsi lingkungannya sehingga persepsilahyang menyebabkaan prasangka. Sebagai anggota masyarakat, individu akan menyadari di mana atau termasuk kelompok etnis mana dia. 

  1. Perspektif Naive
Perspektif ini menyatakan bahwa prasangka lebih menyoroti obyek prasangka, tidak menyoroti individu yang berprasangka. Misalnya, sifat-sifat orang kulit putih menurut orang Negro, atau sifat-sifat orang Negro menurut orang kulit putih.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar