Selamat Datang

Assalamu'alaikum, wr wb.
Silahkan melihat, mempelajari atau mengunduh isi materi artikel dalam blog ini, juga sampaikan tabayyun demi kebaikan bersama, dan jangan lupa do'a buat pemilik blog ini. Semoga bermanfaat, Wassalam.

Senin, 30 April 2012

Prinsip Belajar dalam Konsep Al-Qur'an



A.     Prinsip Belajar

Secara umum belajar dapat dikatakan sebagai aktivitas pencarian ilmu yang tentu saja berdasarkan konsep belajar di atas mesti berpengaruh terhadap si pelajar. Pengaruh itu meliputi cara pandang, pikiran dan perilakunya. Belajar sebagai suatu aktivitas dalam mencari ilmu mesti didasarkan atas prinsip-prinsip tertentu yang meliputi ketauhidan, keikhlasan, kebenaran dan tujuan yang jelas; prinsip yang terakhir ini berkait pula dengan tiga prinsip sebelumnya. Dan pengaruh yang diharapkan terjadi pada sipelajar tidak dapat dipisahkan dari keempat prinsip tersebut.
Tauhid merupakan dasar pertama dan utama, dimana kegiatan belajar mesti dibangun di atasnya. Banyak ayat Al-Qur’an yang menggambarkan hal tersebut. Perbincangan kitab suci ini tentang ilmu pengetahuan dan fenomena alam, sebagai objek yang dipelajari, mengarahkan manusia kepada tauhid. Atau dengan kata lain, belajar mesti berangkat dari ketauhidan dan juga berorientasi kepadanya. Dalam surah Al-Anbiya’ ayat 30 dan 31 ditegaskan:
أَوَلَمْ يَرَ الَّذِينَ كَفَرُوا أَنَّ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ كَانَتَا رَتْقًا فَفَتَقْنَاهُمَا ۖ وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاءِ كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ ۖ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ ﴿021:030﴾ وَجَعَلْنَا فِي الْأَرْضِ رَوَاسِيَ أَنْ تَمِيدَ بِهِمْ وَجَعَلْنَا فِيهَا فِجَاجًا سُبُلًا لَعَلَّهُمْ يَهْتَدُونَ ﴿021:031﴾

Artinya: Dan Apakah orang-orang yang kafir tidak mengetahui bahwasanya langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya. dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka Mengapakah mereka tiada juga beriman?
Dan telah Kami jadikan di bumi ini gunung-gunung yang kokoh supaya bumi itu (tidak) goncang bersama mereka dan telah Kami jadikan (pula) di bumi itu jalan-jalan yang luas, agar mereka mendapat petunjuk.

Ayat ini mengajak manusia mempelajari bumi, langit dan segala isinya. Hal itu tergambar dalam kata tanya (istifham) yang terdapat di awal ayat 30, yaitu awalam yara. Ada beberapa fenomena alam yang diperbincangkan dalam kedua ayat di atas. Pertama bumi dan langit dulunya merupakan satu kesatuan, kemudian Allah memisahkan keduanya maka terjadilah alam dan segala isinya. Kedua segala makhluk hidup berasal dari air. Ketiga di bumi terdapat gunung yang berfungsi mengokohkannya. Dan keempat di bumi juga terdapat jalan-jalan yang lapang.
Ayat pertama dimulai dengan pertanyaan apakah orang kafir tidak memperhatikan dan ayat kedua dimulai dengan pertanyaan, yaitu Allah menciptakan gunung-gunung. Pertanyaan itu memancing manusia agar belajar dengan cara melakukan penalaran terhadap fenomena alam, yang berorientasi kepada keimanan. Kemudian dilanjutkan dengan pernyataan, bahwa Dia lah menciptakan makhluk hidup dari air kemudian menjadikan bumi dan gunung di atasnya sebagai bahan memperkuat bumi tersebut agar tidak goyah. selain itu terdapat pula ungkapan la’allahum yahtaduun, yang secara harfiah dapat diartikan kepada harapan tetapi karena iini pernyataan Al-Qur’an ia berarti suatu kepastian (tahqiiq). Pertanyaan, pernyataan, dan atau harapan ini menggambarkan bahwa mempelajari fenomena alam mesti berangkat dari keimanan dan berorientasi memperkuat keimanan itu, dimana pada akhirnya pelajar yang mengkaji fenomena alam tersebut memperoleh petunjuk.
Penekanan Al-Qur’an mengenai prinsip keimanan dalam belajar, secara lebih tegas, dapat dilihat dalam ayat yang pertama turun, yaitu:
اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ ﴿096:001﴾

Artinya: Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan.
Q.S. Al-‘Alaq:1                                                                                               

Ayat ini mengajarkan, bahwa membaca sebagai salah satu aktivitas belajar mesti berangkat dari nama Tuhan Yang telah menciptakan segala sesuatu. Dengan demikian, belajar mesti berangkat dari keimanan dan berorientasi untuk memperkuatnya. Penguasaan ilmu adalah sebagai model yang dapat menambah dan memperkokoh keimanan tersebut. Dan hasilnya adalah tunduk dan patuh kepada Sang Khalik.
Ketauhidan yang dijadikan prinsip utama dalam belajar lebih jauh menggambarkan keikhlasan dan tujuan pencarian ilmu. Ikhlas dan belajar berarti bersih dari tujuan dan kepentingan duniawi. Maka mendapatkan lapangan pekerjaan seharusnya tidak dijadikan sebagai tujuan utama dalam belajar. Ia mesti dipandang sebagai akibat penguasaan ilmu pengetahuan. Zarnuji menegaskan belajar tidak boleh diniatkan untuk mencari kemegahan duniawi dan popularitas. Tetapi belajar diniatkan atau dimaksudkan untuk mencari ridho Allah, menghilangkan kebodohan dari dirinya, dan atau menghidupkan api Islam. sebab agama tidak akan hidup tanpa ilmu[1]
Berdasarkan prinsip ini, maka dapat ditegaskan bahwa mempelajari segala macam ilmu merupakan usaha menguatkan aqidah tauhid; bertambahnya ilmu sebagai efek dari belajar maka bertambah pula keyakinan kepada Sang Maha Pencipta atau Pemberi ilmu itu. Al-Qur’an menegaskan:
إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ ﴿003:190﴾
الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَى جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذَا بَاطِلًا سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ ﴿003:191﴾

Artinya: Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,
(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka. Q.S. Ali ‘Imran (3):190-191

Produk yang ingin dilahirkan oleh pendidikan Islam adalah sosok intelektual yang berkepribadian, berdzikir, dan berfikir, sehingga dia menyadari dirinya dan alam lingkungannya sebagai suatu sistem yang menggambarkan fenomena kebesaran Tuhan. Untuk melahirkan produk seperti itu, maka belajar mesti dibangun atas prinsip iman dan akidah tauhid. (Wallahu A’lam)


[1] Ibrahim bin Isma’il  Al-Zarnuji. Ta’lim al-Muta’allim Tariiq al-Ta’allum, Semarang, Toha Putra, t.th., hlm. 10.

Minggu, 29 April 2012

TAFSIR TARBAWI

TAFSIR TARBAWI-Konsep Belajar dalam Al-Qur'an
 http://www.scribd.com/doc/91782378/TAFSIR-TARBAWI
Pembaca, terimakasih telah meluangkan waktu Anda mengunjungi blog ini. Bila Anda ingin mengunduh artikel pada tautan di atas, jangan lupa tinggalkan komentar Anda Terimakasih. :)

 
KONSEP BELAJAR DALAM AL-QUR’AN


A.     Konsep Belajar
Terdapat dua istilah yang digunakan Al-Qur’an yang berkonotasi belajar, yaitu ta’allama dan darasa. Ta’allama berasal dari kata ‘alima yang telah mendapat tambahan dua huruf (imbuhan), yaitu ta’ dan huruf yang sejenis dengan lam fi’ilnya yang dilambangkan dengan tasydid sehingga menjadi ta’allama. ‘Allama berarti mengetahui, dari kata ‘alima juga terbentuk kata al-‘ilmu (ilmu). Penambahan huruf pada suatu kata dasar, dalam kaedah Bahasa Arab, dapat merubah makna kata tersebut yang dinamakan dengan istilah fawa’id al-baab. Penambahan ta’ dan tasydid dalam kata ‘alima sehingga menjadi ta’allama juga membuat perubahan, yaitu mutawwa’ah; yang berarti adanya bekas suatu perbuatan. Maka ta’allama secara harfiah dapat diartikan kepada “menerima ilmu sebagai akibat dari suatu pengajaran”. Dengan demikian, ‘belajar’ sebagai terjemahan dari ta’allama dapat didefinisikan kepada perolehan ilmu sebagai akibat dari aktivitas pembelajaran. Atau dengan perkataan lain, belajar merupakan suatu aktivitas yang dilakukan seseorang dimana aktivitas itu membuatnya memperoleh ilmu.
Dalam Al- Qur’an kata ‘allama terulang dua kali. Keduanya digunakan dalam perbincangan tentang sihir, yaitu:
وَاتَّبَعُوا مَا تَتْلُو الشَّيَاطِينُ عَلَى مُلْكِ سُلَيْمَانَ ۖ وَمَا كَفَرَ سُلَيْمَانُ وَلَكِنَّ الشَّيَاطِينَ كَفَرُوا يُعَلِّمُونَ النَّاسَ السِّحْرَ وَمَا أُنْزِلَ عَلَى الْمَلَكَيْنِ بِبَابِلَ هَارُوتَ وَمَارُوتَ ۚ وَمَا يُعَلِّمَانِ مِنْ أَحَدٍ حَتَّى يَقُولَا إِنَّمَا نَحْنُ فِتْنَةٌ فَلَا تَكْفُرْ ۖ فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِهِ ۚ وَمَا هُمْ بِضَارِّينَ بِهِ مِنْ أَحَدٍ إِلَّا بِإِذْنِ اللَّهِ ۚ وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ ۚ وَلَقَدْ عَلِمُوا لَمَنِ اشْتَرَاهُ مَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ خَلَاقٍ ۚ وَلَبِئْسَ مَا شَرَوْا بِهِ أَنْفُسَهُمْ ۚ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ


Artinya: Dan mereka mengikuti apa yang dibaca oleh syaitan-syaitan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), Padahal Sulaiman tidak kafir (tidak mengerjakan sihir), hanya syaitan-syaitan lah yang kafir (mengerjakan sihir). mereka mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua orang malaikat di negeri Babil Yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorangpun sebelum mengatakan: "Sesungguhnya Kami hanya cobaan (bagimu), sebab itu janganlah kamu kafir". Maka mereka mempelajari dari kedua Malaikat itu apa yang dengan sihir itu, mereka dapat menceraikan antara seorang (suami) dengan isterinya. dan mereka itu (ahli sihir) tidak memberi mudharat dengan sihirnya kepada seorangpun, kecuali dengan izin Allah. dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat. Demi, Sesungguhnya mereka telah meyakini bahwa Barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, Tiadalah baginya Keuntungan di akhirat, dan Amat jahatlah perbuatan mereka menjual dirinya dengan sihir, kalau mereka mengetahui.        Q.S. Al-Baqarah (2): 102.

Berdasarkan pengertian ta’allama (belajar) di atas, maka ayat ini dapat diartikan kepada “bahwa orang Yahudi menerima ilmu sihir dari Harut dan Marut sebagai hasil pekerjaan keduanya. Dan ilmu yang mereka dapatkan itu tidak bermanfaat buat mereka, bahkan memberi madharat”. Mereka melakukan berbagai aktivitas sesuai dengan bimbingan atau arahan guru sihir, dimana berdasarkan aktivitas dan mengikuti arahan itu memperoleh apa yang mereka cari.  Tetapi pada akhirnya pengetahuan yang telah mereka peroleh sesungguhnya tidak berguna bagi diri mereka sendiri, malahan dapat mencederai mereka.
Ungkapan Al-Qur’an “wa yata’allamuna ma yadlurruhum wa la yanfa’uhum” menggambarkan bahwa objek yang dipelajari mestilah sesuatu yang berguna atau bermanfaat bagi kehidupan manusia.  Sesuatu yang tidak berguna bahkan dapat mencederai manusia tidak pantas dipelajari. Oleh karena itu, Al-Qur’an melarang manusia mempelajari ilmu sihir, karena ilmu ini tidak dapat mendatangkan manfaat bahkan sebaliknya; ia dapat memadharatkan manusia. Maka ilmu yang pantas dipelajari adalah ilmu yang berdampak positif terhadap manusia, bahkan dalam menjalani kehidupan ataupun di balik kehidupan ini.
Kata darasa secara harfiah selalu diartikan kepada ‘mempelajari’, seperti yang terlihat dalam firman Allah:
وَكَذَلِكَ نُصَرِّفُ الْآيَاتِ وَلِيَقُولُوا دَرَسْتَ وَلِنُبَيِّنَهُ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ

Artinya: Demikianlah Kami mengulang-ulangi ayat-ayat Kami supaya (orang-orang yang beriman mendapat petunjuk) dan supaya orang-orang musyrik mengatakan: "Kamu telah mempelajari ayat-ayat itu (dari ahli Kitab)", dan supaya Kami menjelaskan Al Quran itu kepada orang-orang yang mengetahui. Q.S. Al-An’Am (6) : 105.

Kata darasta dalam ayat ini berarti ‘kamu telah mempelajari’. Al-Isfahani secara harfiah memaknai kata darasa itu dengan ‘meninggalkan bekas’, seperti yang terlihat dalam makna ungkapan darasa al-daaru yang semakna dengan baqiya atsruha (rumah itu masih ada bekasnya). Maka ungkapan darastu al-‘ilma sama artinya dengan tanawaltu atsruhu bi al-hifdzi (saya menerima bekasnya dengan menghafal). Berangkat dari makna harfiah ini, maka belajar dapat didefinisikan kepada suatu kegiatan pencarian ilmu, dimana hasilnya berbekas dan berpengaruh terhadap orang yang mencarinya. Artinya, belajar tidak hanya sekedar aktivitas tetapi ia mesti mendatangkan pengaruh atau perubahan pada orang yang belajar tersebut.
Kata darasa dalam Al-Qur’an terulang 6 kali; lima dalam bentuk kata kerja dan yang lainnya dalam bentuk masdar. Lima yang dalam bentuk kata kerja itu, dua di antaranya menggunakan fi’il madli dan tiga lainnya menggunakan fi’il mudlari’. Kata tersebut terdapat dalam surah Al-An’am ayat 105, seperti yang telah dijelaskan di atas. Selain itu, kata darasa juga terdapat dalam beberapa surah dan ayat berikut, yaitu:

1. surah Al-A’raf (7): 169.
فَخَلَفَ مِنْ بَعْدِهِمْ خَلْفٌ وَرِثُوا الْكِتَابَ يَأْخُذُونَ عَرَضَ هَذَا الْأَدْنَى وَيَقُولُونَ سَيُغْفَرُ لَنَا وَإِنْ يَأْتِهِمْ عَرَضٌ مِثْلُهُ يَأْخُذُوهُ ۚ أَلَمْ يُؤْخَذْ عَلَيْهِمْ مِيثَاقُ الْكِتَابِ أَنْ لَا يَقُولُوا عَلَى اللَّهِ إِلَّا الْحَقَّ وَدَرَسُوا مَا فِيهِ ۗ وَالدَّارُ الْآخِرَةُ خَيْرٌ لِلَّذِينَ يَتَّقُونَ ۗ أَفَلَا تَعْقِلُونَ

Arinya: Maka datanglah sesudah mereka generasi (yang jahat) yang mewarisi Taurat, yang mengambil harta benda dunia yang rendah ini, dan berkata: "Kami akan diberi ampun". dan kelak jika datang kepada mereka harta benda dunia sebanyak itu (pula), niscaya mereka akan mengambilnya (juga). Bukankah Perjanjian Taurat sudah diambil dari mereka, Yaitu bahwa mereka tidak akan mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar, Padahal mereka telah mempelajari apa yang tersebut di dalamnya?. dan kampung akhirat itu lebih bagi mereka yang bertakwa. Maka Apakah kamu sekalian tidak mengerti? Q.S. Al-A’raf (7): 169.

Ayat ini memperbincangkan kejahatan umat terdahulu setelah wafatnya nabi yang diutus Allah kepada mereka. Umat-umat tersebut mewarisi kitab dari nabi, mereka mempelajarinya tapi tidak mengamalkan isinya, bahkan menfatwakan dan mengajarkan sesuatu yang bertentangan dengan isi al-kitab yang mereka pelajari itu, untuk mendapatkan kesenangan duniawi. Mereka berharap agar kesalahan yang mereka perbuat itu akan diampuni oleh Allah, tetapi lagi-lagi mereka terus-menerus melakukannya. Padahal meraih kebahagiaan akhirat, dengan cara mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang terdapat dalam Al-Kitab itu lebih baik dan lebih menguntungkan mereka. Tetapi memang tidak semua ahlul kitab seperti itu. Ada juga mereka yang taat dan mengamalkan isi taurat yang telah mereka warisi tersebut, seperti yang tergambar dalam ayat sebelumnya (168) surat yang sama.
Dalam ayat ini terdapat kata darasuu maa fiihi yang dapat diartikan kepada “mereka telah mempelajari isi al-Kitab”. Maka maksudnya, orang-orang Ahlul Kitab telah mempelajari kitab Allah yang diturunkan kepada mereka, maka seharusnya kegiatan belajar itu berbekas dalam diri mereka, dengan mengimani dan mengamalkan pesan-pesan Tuhan yang termuat dalam Kitab tersebut, serta berpengaruh terhadap mereka dalam bentuk bertambahnya pengetahuan dan perubahan perilaku sehingga mereka mengakui kerasulan Muhammad saw. Tetapi justru yang sebaliknya; hal-hal yang dipelajari dari Al-Kitab tidak mendatangkan pengaruh apa-apa dan tidak berbekas dalam jiwa mereka. Ini menggambarkan belajar yang tidak efektif. Hal itu disebabkan oleh fanatisme dan tertutupnya jiwa menerima kebenaran atau ada kepentingan lain yang membuat mereka menolaknya. Dalam ayat tersebut digambarkan hal yang membuat tidak efektifnya kegiatan belajar mereka, yaitu “ya’khudzuuna al- adnaa (mereka mengambil harta benda dunia yang rendah ini). Artinya mereka memandang harta benda dunia lebih penting dari segalanya sehingga pesan-pesan ilahi yang mereka pelajari dalam al-Kitab tidak mendatangkan efek positif terhadap sikap dan jiwa mereka. Bahkan, mereka berani mengubah kitab suci yang mereka warisi itu untuk mendapatkan kedudukan dan kehormatan.
Berdasarkan perbincangan ayat di atas, maka dapat ditegaskan di sini bahwa hal-hal yang dapat menghalangi peserta didik menguasai pelajaran, baik secara kognitif, afektif maupun psikomotor. Faktor yang dapat menghalangi penguasaan tersebut meliputi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berkaitan dengan hal-hal yang berada dalam diri peserta didik, seperti motivasi dan minatnya terhadap mata pelajaran yang dipelajari. Demikian pula tujuan belajar; apakah tujuannya benar-benar menimba ilmu atau ada tujuan lain, dimana belajar dijadikan sebagai ‘kambing hitam’, termasuk pula pergeseran pandangan terhadap belajar dari mencari ilmu berubah menjadi mencari ijazah atau gelar.
Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berada di luar diri peserta didik itu sendiri. Hal itu meliputi godaan atau rangsangan yang ada di lingkungan sekitar peserta didik, yaitu teman, masyarakat, media masa, dan keluarga. Banyak hal yang muncul di media masa, lingkungan keluarga, masyarakat, dan teman yang tidak mendukung bahkan menghambat kegiatan belajar atau menggoda siswa untuk tidak belajar sehingga materi pelajaran tidak dikuasai atau mereka mungkin saja sudah menguasai pengetahuanya, tetapi hal-hal tersebut menghambat mereka mengamalkannya. Maka itulah sebabnya, banyak orang yang sudah berilmu tetapi sikap dan perilakunya bertentangan dengan pengetahuannya itu.
Maka untuk efektifnya proses belajar, faktor-faktor tersebut mesti dihindari. Peserta didik harus fokus pada materi dan tujuan belajar. Mereka mesti membuka diri terhadap kebenaran atau objek yang dipelajari. Karena jika tidak demikian, maka jiwanya akan ditutupi oleh subjektifitas dan fanatismenya sehingga pada akhirnya membuat proses belajar tidak mencapai tujuan yang diharapkan. niat mereka perlu diluruskan, bahwa belajar benar-benar mencari ilmu untuk menguatkan akal agar mendapat hhidayah dari Allah, sehingga ilmu yang diperoleh berpengaruh positif terhadap perilaku.
Selain itu, lingkungan seperti teman serta lingkungan sekitar siswa lainnya mestilah dijaga agar benar-benar bersih dari hal-hal yang dapat menggagalkan pendidikan. Nabi Muhammad mengajarkan agar bersahabatlah dengan orang-orang baik, agar kebaikan yang ada padanya berpengaruh pula kepada sahabat.
2. surah Ali ‘Imran (3); 79 dan 80:
مَا كَانَ لِبَشَرٍ أَنْ يُؤْتِيَهُ اللَّهُ الْكِتَابَ وَالْحُكْمَ وَالنُّبُوَّةَ ثُمَّ يَقُولَ لِلنَّاسِ كُونُوا عِبَادًا لِي مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ كُونُوا رَبَّانِيِّينَ بِمَا كُنْتُمْ تُعَلِّمُونَ الْكِتَابَ وَبِمَا كُنْتُمْ تَدْرُسُونَ
وَلَا يَأْمُرَكُمْ أَنْ تَتَّخِذُوا الْمَلَائِكَةَ وَالنَّبِيِّينَ أَرْبَابًا ۗ أَيَأْمُرُكُمْ بِالْكُفْرِ بَعْدَ إِذْ أَنْتُمْ مُسْلِمُونَ

Artinya: Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, Hikmah dan kenabian, lalu Dia berkata kepada manusia: "Hendaklah kamu menjadi penyembah-penyembahku bukan penyembah Allah." akan tetapi (dia berkata): "Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani[208], karena kamu selalu mengajarkan Al kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.
Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan Malaikat dan Para Nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) Dia menyuruhmu berbuat kekafiran di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?".


Dalam ayat ini terdapat ungkapan kuunu rabbaniyyina bima kuntum tu’allimuuna al-Kitab wa bimaa kuntum tadrusuun (karena kamu selalu mengajarkan al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya). Penggalan ayat tersebut menggambarkan ajakan atau dakwah nabi terdahulu terhadap ummatnya agar mereka menjadi rabbani, yaitu orang-orang yang sempurna ilmu dan takwanya kepada Allah swt. dimana kesempurnaan ilmu dan takwa itu merupakan efek dari pengajaran al-Kitab di satu sisi dan mempelajarinya di sisi lain. Ini artinya, belajar semestinya meninggalkan bekas pada diri atau jiwa peserta didik dalam bentuk kesempurnaan iman dan takwa.
Maka dengan demikian ditegaskan, bahwa ayat ini secara tidak langsung membicarakan dua hal yang berkaitan dengan belajar; pertama konsep belajar seperti terlihat dalam istilah ‘tadrusuuna’. Dan kedua tujuan belajar dan mengajar, yaitu “terbentuknya insan rabbani”. Para nabi telah mengajar umatnya  dan umat pun telah mempelajari pesan-pesan ilahi yang disampaikan para nabi tersebut. Maka umat diharapkan menjadi insan rabbani.
3. surah Al-Qalam (68); 34-38
إِنَّ لِلْمُتَّقِينَ عِنْدَ رَبِّهِمْ جَنَّاتِ النَّعِيمِ ﴿068:034 أَفَنَجْعَلُ الْمُسْلِمِينَ كَالْمُجْرِمِينَ ﴿068:035﴾
 مَا لَكُمْ كَيْفَ تَحْكُمُونَ ﴿068:036 أَمْ لَكُمْ كِتَابٌ فِيهِ تَدْرُسُونَ ﴿068:037﴾
إِنَّ لَكُمْ فِيهِ لَمَا تَخَيَّرُونَ ﴿068:038﴾

Artinya: Sesungguhnya bagi orang-orang yang bertakwa (disediakan) syurga-syurga yang penuh kenikmatan di sisi Tuhannya. Maka Apakah patut Kami menjadikan orang-orang Islam itu sama dengan orang-orang yang berdosa (orang kafir)? atau Adakah kamu (berbuat demikian): Bagaimanakah kamu mengambil keputusan? atau Adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu membacanya?, bahwa di dalamnya kamu benar-benar boleh memilih apa yang kamu sukai untukmu.


Ayat 36 dan 37 di atas diungkapkan dengan uslub (gaya bahasa) bertanya, yaitu ‘Adakah kamu (berbuat demikian): bagaimanakah kamu mengambil keputusan?” dan “Atau adakah kamu mempunyai sebuah kitab (yang diturunkan Allah) yang kamu mempelajarinya?. Hal ini secara implisit menggambarkan bahwa perilaku merupakan efek dari apa yang dipelajari. Artinya, seolah-olah orang-orang kafir itu telah menerima al-Kitab lalu mereka mempelajari, dan hasilnya mereka dibolehkan memilih apa-apa yang mereka sukai. Kemudian mereka pun mengamalkan hal-hal yang mereka sukai itu, seperti yang terlihat pada sikap dan perilaku mereka. Padahal mereka belum mendapatkan al-Kitab. Sikap dan perilaku mereka hanyalah efek dari apa yang mereka pelajari dari nenek moyang mereka. Hal itu juga tergambar dalam ayat berikut.

4. surah Saba’(34); 43-44:
وَإِذَا تُتْلَى عَلَيْهِمْ آيَاتُنَا بَيِّنَاتٍ قَالُوا مَا هَذَا إِلَّا رَجُلٌ يُرِيدُ أَنْ يَصُدَّكُمْ عَمَّا كَانَ يَعْبُدُ آبَاؤُكُمْ وَقَالُوا مَا هَذَا إِلَّا إِفْكٌ مُفْتَرًى ۚ وَقَالَ الَّذِينَ كَفَرُوا لِلْحَقِّ لَمَّا جَاءَهُمْ إِنْ هَذَا إِلَّا سِحْرٌ مُبِينٌ ﴿034:043﴾ وَمَا آتَيْنَاهُمْ مِنْ كُتُبٍ يَدْرُسُونَهَا ۖ وَمَا أَرْسَلْنَا إِلَيْهِمْ قَبْلَكَ مِنْ نَذِيرٍ﴿034:044﴾

Artinya: Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang terang, mereka berkata: "Orang ini tiada lain hanyalah seorang laki-laki yang ingin menghalangi kamu dari apa yang disembah oleh bapak-bapakmu", dan mereka berkata: "(Al Quran) ini tidak lain hanyalah kebohongan yang diada-adakan saja". dan orang-orang kafir berkata terhadap kebenaran tatkala kebenaran itu datang kepada mereka: "Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata".
Dan Kami tidak pernah memberikan kepada mereka Kitab-Kitab yang mereka baca dan sekali-kali tidak pernah (pula) mengutus kepada mereka sebelum kamu seorang pemberi peringatanpun.


Orang kafir menolak ajaran yang disampaikan Rasul, mereka menganggapnya sebagai dongeng dan sihir. Mereka sangat fanatik dengan kepercayaan nenek moyang. Seakan-akan hal itu telah mereka pelajari dari al-Kitab atau dari rasul yang diutus kepada mereka. Padahal mereka tidak pernah diberi al-Kitab dan juga tidak pernah diutus seorang rasul, yang memberikan peringatan. Pernyataan ayat-ayat ini secara implisit meggambarkan begitu eratnya kaitan perilaku dengan belajar.
Berdasarkan konsep ta’allama dan darasa di atas, maka hakikat belajar itu adalah pencarian dan perolehan ilmu, di mana iaa mendatangkan pengaruh atau perubahan kepada sipelajar.
Ayat 105 surah al-An’am yang lalu juga menggambarkan bahwa untuk mendapatkan hasil belajar yang maksimal ia mesti diulang-ulang. Hal itu tergambar dalam penggalan ayat “wa kadzaalika nusharrifu al-aayaat” (demikianlah Kami mengulang-ulang ayat-ayat) supaya orang-orang yang beriman mendapat petunjuk. Allah mengajar manusia melalui kitab suci-Nya, pengajaran Allah itu selalu diulang-ulang. Pengulangan itu tidak hanya dilakukakan oleh guru, tetapi yang paling penting lagi dilakukan oleh peserta didik.
Perbincangan di atas menggambarkan beberapa konsep belajar dan bagaimana seharusnya efek dari belajar tersebut. Selain itu, dalam al-Qur’’an diterangkan pula bentuk aktifitas belajar, yaitu membaca (qara’a), dan memperhatikan (ra’a), menalar (nadzhara), mendengarkan (sami’a), dan mengingat atau menghafal (dzakara). Melakukan segala aktivitas belajar ini  dapat menghasilkan penguasaan terhadap pelajaran tersebut, baik penguasaan secara kognitif maupun afektif. Dalam istilah al-Qur’an disebut dengan tadzakkar yang berarti menjadi ingat atau menguasai materi ajar atau sadar sebagai makhluk Tuhan sebagai efek dari membaca, memperhatikan, menalar, mendengarkan, dan meghafal. Jadi, belajar mestinya mendatangkan efek kepada pelajar dalam bentuk kesadaran diri sebagai hamba Allah dan menyadari bahwa segala yang ada ini mempunyai penuh ketergantungan kepada Allah. Al-Qur’an menegaskan:
وَهُوَ الَّذِي يُرْسِلُ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ ۖ حَتَّى إِذَا أَقَلَّتْ سَحَابًا ثِقَالًا سُقْنَاهُ لِبَلَدٍ مَيِّتٍ فَأَنْزَلْنَا بِهِ الْمَاءَ فَأَخْرَجْنَا بِهِ مِنْ كُلِّ الثَّمَرَاتِ ۚ كَذَلِكَ نُخْرِجُ الْمَوْتَى لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
﴿007:057﴾

Artinya: Dan Dialah yang meniupkan angin sebagai pembawa berita gembira sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); hingga apabila angin itu telah membawa awan mendung, Kami halau ke suatu daerah yang tandus, lalu Kami turunkan hujan di daerah itu, Maka Kami keluarkan dengan sebab hujan itu pelbagai macam buah-buahan. seperti Itulah Kami membangkitkan orang-orang yang telah mati, Mudah-mudahan kamu mengambil pelajaran. Q.S. Al-A’raf (7): 57.

Secara umum ayat ini menegaskan, bahwa mempelajari fenomena alam yang meliputi proses turunnya hujan dan tumbuhannya sebagai dalil yang menunjukkan kepada kemahabesaran dan kekuasaan Allah, yang kemudian dianalogikan dengan kekuasaan-Nya yang lain yaitu membangkitkan manusia, dapat membentuk pribadi yang sadar akan kekuasaan-Nya itu (tadzakkar). Artinya, fenomena alam semestinya dapat dijadikan i’tibar oleh manusia dan mengantarkannya kepada keimanan yang kokoh dalam bentuk kesadaran diri sebagai makhluk ciptaan Tuhan. Dan kesadaran diri itu merupakan hasil yang ingin dicapai melalui mempelajari fenomena alam tersebut. (Wallahu A’lam)




Selasa, 24 April 2012

MEDIA PEMBELAJARAN Pendidikan Agama Islam [PAI]: Model Evaluasi Responsif

MEDIA PEMBELAJARAN Pendidikan Agama Islam [PAI]: Model Evaluasi Responsif: “ RESPONSIVE EVALUATION ” Oleh : Wahyono Saputro NIM. 2110103187 Tugas mata kuliah Evaluasi Pendidikan Dosen Peng...

Model Evaluasi Responsif


RESPONSIVE EVALUATION


Oleh :

Wahyono Saputro
NIM. 2110103187


Tugas mata kuliah Evaluasi Pendidikan

Dosen Pengampu :

Dr. Firdaus Basuni, M.Pd.


MANAJEMEN PENDIDIKAN ISLAM
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI RADEN FATAH
PALEMBANG
2012  


Abstrak

Model Evaluasi Responsif telah terlihat sebagai sebuah alternatif untuk model evaluasi formal. Model ini telah digunakan untuk evaluasi sebuah program di Quebec French University. Studi tersebut berfokus pada dua sasaran: Pertama, untuk keperluan lokal program yang sedang dinilai dan, permasalahan utama yang ditemui oleh para administrator dan, kedua,    proses identifikasi kebaikan-kebaikan dan kekurangan-kekurangan model, membandingkannya dengan hal-hal yang telah diberitakan dalam literatur tersebut.
Sepanjang yang menyangkut pada sasaran pertama, kaya, rinci dan informasi relevan yang berhubungan, memungkinkan para pelaku evaluasi untuk merancang sebuah gambaran situasi. Hasil- hasil dan temuan-temuan evaluasi tersebut telah ditransformasikan ke dalam rekomendasi yang tepat khusus untuk membuktikan program yang bersangkutan.
Adapun untuk sasaran kedua, beberapa kebaikan dan kekurangan-kekurangan telah dikutip dari literatur-literatur yang telah dikonfirmasi mengingat beberapa hal-hal baru telah ditemukan. Rekomendasi-rekomendasi khusus mengenai penggunaan model responsif akan disajikan sebagai saran- saran kesimpulan.



A. PENDAHULUAN
Pada beberapa dekade yang lalu, kritisisme telah mengarahkan pada model formal evaluasi program (Guba, 1969; Stake, 1976; Guba dan Lincoln, 1981; Borich dan Jemelka, 1982). Di antara hal-hal yang sangat penting, ditemui: ketidak memadainya model-model secara metodologi; kekurangan pemahaman mereka akan konteks sosial dan politik; bias-bias pendekatan formal lebih ditempati oleh para pendengar yang berpengaruh daripada oleh para pemerhati; ketiadaan realisme dari kriteria yang biasa digunakan untuk mengukur suksesnya sebuah program, tidak relevannya pendekatan sejak ia tertuju pada pertanyaan-pertanyaan yang tidak menarik terhadap pendengar yang beragam; akhirnya ketidakbermanfaatan model- model tersebut begitu ditekankan lebih sering daripada sebuah sisa-sisa keadaan yang tak berubah. Weiss menekankan hal-hal berikut:
  1. Penekanan ditempatkan pada perhatian-perhatian pada siapa yang memiliki kekuasaan dibandingkan pada siapa yang terlibat dalam program-program ini (Berk dan Rossi, 1976; Parlett dan Hamilton, 1976; Patton, 1978; Stake, 1978; Cochran, 1980; Coleman, 1980; House, 1980; Datta, 1981);
  2. Kriteria yang biasa digunakan untuk mengukur suksesnya sebuah program yang  kosong secara realisme (Caro, 1971; Schwartz, 1980);
  3. Hasil-hasil seringkali tidak bermanfaat sejak mereka tidak mempengaruhi proses pengambilan keputusan (Weiss, 1972; Scott dan Shore, 1979; Rutman, 1980);
  4. Metode-metode yang biasa digunakan dalam penelitian kesemuanya lebih sering lebih tidak memadai dalam evaluasi (Cochran, 1980).
Akhirnya, Gold (1981) beralasan bahwa berkaca dari masa lalu dan supaya menghindari pertentangan dengan kolega mereka, para pelaku evaluasi lebih memperhatikan tentang metodologi daripada menjadi ahli waris sebuah kedudukan.

Sebuah Alternatif: Evaluasi Naturalistik
Pendekatan Naturalistik terhadap evaluasi telah disajikan sebagai sebuah alternatif untuk sebuah model tradisional dari evaluasi program (Levine, 1974; Stake, 1976; Parlett dan Hamilton, 1976; Guba dalam Lincoln, 1981). Pendekatan ini menyajikan karakteristik-karakteristik sebagai berikut:
1.       Berpusat pada karakteristik-karakteristik sebuah program daripada maksud tujuannya;
2.     Mengutamakan instrumen apa saja yang akan mengizinkan pengumpulan informasi-informasi yang diingini;
3.     Bertanggung jawab terhadap nilai-nilai dari partisipan-partisipan yang berbeda yang merupakan kriteria untuk proses penilaian keputusan;
4.     Akhirnya, struktur biasanya digunakan untuk mengumpulkan informasi darimana berasal dan perubahan-perubahan oleh situasi.

Pendekatan Naturalistik secara asasi harus bertemu dengan dua kondisi berikut:
1.       Para pelaku evaluasi menentukan pembatas-pembatas minimum pada antecedents (bagian-bagian kalimat yang mendahului),
2.      Para pelaku evaluasi menentukan sebuah pembatas-pembatas minimun  pada perilaku-perilaku partisipan.

Beberapa model mengumpulkan secara bersama di bawah tema umum “Pendekatan Naturalistik”. Di antara berikut ini kita menemukan model pengadilan (Owens, 1973; Levine, 1974; Wolf, 1975); model transaksional (Rippey, 1973); model illuminasi (Parlett dan Hamilton, 1976); model Connaisseur (Eisner, 1976) dan model Responsif (Stake, 1976; Guba dan Lincoln, 1981; Borich dan Jemelka, 1982).

B. MODEL RESPONSIF
Model responsif sangat menekankan terutama sekali pada kedudukan-kedudukan, pertanyaan-pertanyaan, dan masalah-masalah yang ditemui oleh perhatian para pendengar yang berbeda oleh di bawah program  evaluasi. Oleh karena itu, penting bagi para pelaku evaluasi untuk menguasai pandangan pluralistik (beragam) dari sebuah program yang mengandung sudut pandang berbeda, dan penemuan konflik-konflik. Dalam hal tersebut, struktur model responsif adalah cukup fleksibel dan proses evaluasi adalah mungkin untuk merubah dasar informasi yang masuk. Analisis kualitatif sebaik analisis kuantitatif kesemuanya dapat diterima. Hal terpenting, seorang pelaku evaluasi adalah terlihat sebagaimana selaku seorang partisipan.
Menurut Scriven (1978), Guba dan Lincoln (1981), model evaluasi responsif memungkinkan mengambil dua orientasi mayor (utama) [yang mana saling melengkapi satu sama lain (Guba dan Lincoln, 1981)], yaitu:
  1. Pembatasan terhadap kegunaan atau manfaat yang benar-benar ada yang sedang dievaluasi atau
  2. Pembatasan terhadap nila-nilai yang benar-benar ada yang sedang dievaluasi.

Manfaat adalah sebuah estimasi (perkiraan) lebih dari kualitas intrinsic mutlak mengingat sebuah nilai adalah sebuah kualitas yang berhubungan secara kontekstual. Perbedaan antara dua konsep tersebut di atas adalah penting sejak keputusan-keputusan akan menjadi berbeda tergantung pada orientasi pilihan. Penilaian kualitas internal adalah sering mengacu sebagai sebuah evaluasi formatif.
Dengan ungkapan lain, sebuah penilaian kualitas kontekstual sebuah program adalah mengacu sebagai sebuah evaluasi sumatif.  Bagi Guba dan Lincoln (1981) dimensi-dimensi ini saling melengkapi satu sama lain.

Studi Evaluasi
Program
Program evaluasi berjalan adalah sebuah sertifikasi dalam hubungan industrial yang ditawarkan dalam sebuah program pendidikan yang berkesinambungan di sebuah Quebec French University. Program ini, adalah sebuah jenis kecakapan, yang telah diterapkan pada tahun 1970. Calon mahasiswa yang diharapkan akan datang dari bidang hubungan industrial, atau  ada pada level eksekutif atau manajerial.
Persyaratan yang diminta adalah: peringkat pertama lususan universitas atau lulusan akademi ditambah pengalaman setahun dalam hubungan industrial/ Industrial Relations (I.R.) atau pengalaman tiga tahun dalam I.R. Lebih dari 1800 calon mahasiswa yang mendaftar dari 1970 hingga 1982.
Dalam sebuah studi yang pernah dilakukan, Hurteau (1982) menemukan bebarapa permasalahan yang menarik, yang meyakinkan administrator bahwa ada sesuatu yang salah dengan program dan bagaimanapun mengarahkan kepada proses evaluasi.
Hal-hal berikut di antaranya yang ditemukan:
  1. Para klien ternyata berbeda dari yang diharapkan: kenyataannya, 86% dari mereka tidak memiliki pengalaman samasekali di bidang I.R.; hanya 14% dari calon mahasiswa yang bekerja di bidang I.R.; hanya 20% calon mahasiswa yang merupakan peringkat pertama lulusan universitas sedangkan para administrasi berharap kesemuanya seperti yang diharapkan sejak awal.
  2. Sebuah rata-rata drop out (D.O.) yang tak dapat dipercaya. Kenyataannya, selama beberapa tahun didapati 52% mahasiswa telah drop out dari program.
  3. Akhirnya, program tersebut telah berlarut larut tanpa ada perubahan yang berarti sejak diterapkan.

Berdasarkan informasi tersebut, para administrator menyetujui program mereka dievaluasi dan lebih jauh, mereka menyetujui tentang ide penggunaan pendekatan naturalistik.

Proses Evaluasi
  1. Manfaat lokal
Guba dan Lincoln (1981) menyarankan penggunaan pengukuran kebutuhan untuk membatasi manfaat lokal sebuah program (evaluasi summatif nilai). Kami telah memulai seperti yang disarankan oleh Kaufman dan English (1979) dan Witkin (1984), inducing potensial needs (alpha needs) dengan pewancaraan para pekerja (pegawai admin, perwakilan persatuan buruh, dan seterusnya), para lulusan program dan mahasiswa dalam program. Sebuah sampel dari 32 orang telah ditanyai pertanyaan-pertanyaan berikut:” Untuk keperluan apa yang seharusnya dijawab oleh program agar bermanfaat untuk calon mahasiswa yang telah mendaftar pada sertifikasi hubungan industrial?”. Informasi yangg telah terkumpul disampaikan kepada seorang analis konten dan hasil akhir didistribusikan untuk penafsiran penyisihan dari instrumen pengukuran kebutuhan. Penyusunan draft pertanyaan pertamakali, kemudian penyampaian kepada kedua belah pihak yaitu pegawai admin dan staf pengajar yang diminta untuk mempelajari, mengoreksi dan melengkapinya menurut pengalaman mereka. Ini langkah kedua yang telah dilakukan tidak sukses dengan sendirinya. Untuk mengelaborasi terjemahan akhir dari instrumen, sebuah analisis sasaran-sasaran rangkaian pelajaran telah dilakukan dan wawancara telah diadakan di antara staf pengajar. Hasilan akhir instrumen pengukuran kebutuhan (skala Likert) telah diadministrasikan ke 550 lulusan program yang telah ditanyai dua pertanyaan:
1)      Untuk tingkatan apa sebenarnya program aktual tersebut, respon untuk setiap kebutuhan-kebutuhan yang telah diidentifikasikan?
2)     Untuk tingkatan apa seharusnya hal tersebut dapat merespon setiap kebutuhan-kebutuhan ini?

  1. Permasalahan
Informasi mengenai permasalahan yang berkaitan dengan program telah dikumpulkan dalam beberapa langkah:
1)      Pertama, serangkaian wawancara formal telah menghubungkan dengan sesama lulusan program;  mereka telah ditanya untuk mengenali semua permasalahan yang berhubungan dengan program baik, akademis, kemanusian staf pengajar, pengawasan, dan seterusnya,...dan,
2)     Kedua, serangkaian wawancara telah menghubungkan di antara sesama peserta program yang drop out (hanya 15 orang dari mereka yang ditempatkan dan diterima untuk berpartisipasi) dan kelompok yang berpotesi drop out dari program (sebuah sampel dari 60 calon mahasiswa yang tidak terdaftar untuk dua semester dalam sebuah putaran). Mereka telah ditanya dua pertanyaan, satu mengenai alasan untuk keluar dari program (atau yang akan membuat mereka drop out dari program) dan hal lainnya, yang berhubungan dengan permasalahan yang berkaitan langsung dengan program.

Sebuah gambaran dari situasi yang kemudian disketsakan dan diajukan kepada para administrator yang, pertama tidak setuju dengan proses identifikasi permasalan. Beberapa bulan berikutnya, dengan persetujuan mereka dan supaya dapat melakukan validasi informasi, sebuah instrumen pertanyaan telah dikirim untuk semua populasi peserta didik. Hasil-hasil menunjukan adanya kesamaan  dengan apa yang dilakukan pada proses wawancara.
Permasalahan-permasalahan diidentifikasi ke dalam empat kategori: Perizinan peserta didik (Laxim, peserta didik berasal dari latar belakang berbeda, dan seterusnya.); pengajaran (tidak hadir dengan alasan yang jelas, pengajaran yang buruk, dan seterusnya.) dan staf pengajar (pekerjaan paruh waktu untuk memperoleh tambahan uang, kekurangan minat dalam program, dan seterusnya); pengawasan peserta didik (kelompok yang tak bersahabat, kantor-kantor tutup karena perkuliahan diberikan pada malam hari; tenaga administrasi tidak tersedia, dan seterusnya); formasi secara keseluruhan (secara keseluruhan evalauasi positif tetapi komentar-komentar kasar mengenai jabatan tenaga administrasi program, interes universitas, dan seterusnya.).

Kebaikan dan kekurangan Evaluasi Responsif
Sebuah ringkasan literatur mengenai model responsif evaluasi telah terhubung supaya mendaftar kebaikan sebaik ketidakbaikan berhubungan dengan proses. Idenya adalah:
1.       Untuk membandingkan temuan mengenai kesamaan tema dan perbedaan-perbedaan.
2.     Untuk mengenal semua pemikiran baru yang berasal dari proses saat ini dan temuan-temuan.


Kebaikan
Beberapa kebaikan atau kelebihan  yang terungkap dari studi literatur ditegaskan oleh study saat ini:
  1. Seperti dinyatakan oleh Newcomer dan Bernstein (1984); Stake dan Hoke (1976); Stake dan Pearsol (1981), pendekatan-pendekatan mengizinkan pertanyaan-pertanyaan untuk memunculkan (keberagaman talenta klien, absen kepengawasan para dosen dengan menghargai silabus mereka, prosedur-prosedur evaluasi, pengajaran, dan seterusnya, Konten (materi) isi yang tumpang tindih dari beberapa kursus, kesemuanya adalah contoh-contoh pemunculan informasi). Pengamatan ini sesuai dengan perkiraan Rachkel (1976), yang menyatakan bahwa pendekatan mengizinkan pengenalan dan  kecocokan perhatian para klien.
  2. Sejalan dengan Kalman (1976), Rocwell (1982), Schermerhorn dan Williams (1982), Preskill (1983), yang kesemuanya mengatakan bahwa data yang dikumpulkan oleh pendekatan ini mengizinkan para pelaku evaluasi untuk menyajikan sebuah potret sketsa, mudah diakses untuk memperhatikan para audien dan merespon terhadap kebutuhan-kebutuhan informasi mereka. Untuk mudahnya, analisa konten (materi) dari perolehan informasi melalui wawancara memungkinkan kita untuk mengidentifikasi beberapa permasalahan yang dihadapkan leh program dan untuk mengilustrasikan mereka dengan fakta-fakta, catatan-catatan tekstual.
  3. Sebagaimana juga Stake (1983), bahwa perbaikan-perbaikan langsung adalah mungkin ketika pengumpulan informasi telah dibuat secara memadai untuk pembuat keputusan sesegera ia muncul. Untuk mudahnya, dalam studi saat ini, penyajian pertama atau gambaran dari permasalahan yang terprovokasi merupakan modifikasi langsung. Pengamatan sama seperti yang telah dibuat oleh Kalman (1976) dan Klintberg (1976), kepada siapa  penekanan hasil-hasil untuk tindakan dan dapat dengan mudah ditransformasikan ke dalam rekomendasi-rekomendasi secara khusus.
  4. Sebagaimana yang telah dilakukan Schermerhorn dan williams (1982), Newcomer dan Berstein (1984), bahwa tenggelamnya pelaku evaluasi mewarnai laju pemahaman program miliknya.
  5. Seperti yang telah ditulis Guba dan Lincoln (1981), dengan pendekatan ini, nilai-nilai dan poin-poin perbedaan pandangan yang mana mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat ke depan dan arah munculnya tindakan.

Berangkat dari keadaan-keadaan yang berbeda, item-item berikut  tidaklah terus menerus ditopang oleh studi saat ini:
  1. Umpan balik yang tetap antara para pelaku evaluasi dan para pengguna yang memfasilitasi penerimaan hasil-hasil (Schermerhon dan Williams, 1979; Newcomer dan Berstein, 1984).
  2. Umpan balik yang tetap antara para pelaku evaluasi dan para pengguna menciptakan suasana kerjasama dan simpati  ke arah proses evaluasi (Rockwell, 1982; Michael, 1984; Newcomer and Berstein, 1984).

Bagaimanapun, dalam studi lanjutan didapati bahwa umpan balik yang tetap dalam kenyataannya memiliki kebaikan-kebaikan tersebut di atas, dan hal itu merupakan alasan utama bagi kita untuk memilih evaluasi responsif dalam studi saat ini.
Kebaikan-kebaikan berikut, meski muncul dari studi; kesemuanya tidak disebutkan dalam studi literatur.
1.  Evaluasi Responsif mengizinkan proses identifikasi berlawanan dan oposisi untuk melakukan pendekatan atau mengumpulkan informasi dan kemungkinan untuk melakukan perbaikan-perbaikan kebutuhan. Untuk mudahnya, mengikuti penyajian gambaran dari situasi digambarkan dengan memakai wawancara, pelaku administrasi telah menunjukkan ketidaksetujuan yang kuat, menyalahkan kualitas para informan, mempertanyakan kredibilitas peserta didik...membiarkan segala sesuatu mereda untuk sementara, para pelaku evaluasi menyarankan validasi silang informasi dengan memakai seperangkat pertanyaan untuk dikirimkan kepada seluruh peserta didik dalam program. Meyakinkan pentingnya informasi dalam proses manajemen mereka, pelaku administrasi telah setuju dan secara aktif berpartisipasi dalam proses membangun pertanyaan-pertanyaan.
2.     Sifat penjelasan program dan permasalahan-permasalahannya mewarnai kemampuan transfer tertentu informasi untuk hal-hal yang serupa. Untuk mudahnya, pengumpulan informasi mengenai permasalahan sertifikasi dalam hubungan industrial telah membantu memecahkan permasalahan yang serupa dalam sertifikasi yang lain. Untuk beberapa tahap tertentu itu akan membantu pelaku administrasi program lain dalam pembuatan keputusan mereka.

Kekurangan
Beberapa kekurangan ditemui dalam evaluasi saat ini sesuai dengan temuan –temuan itu di dalam studi-studi lainnya:
1.       Waktu yang dibutuhkan untuk membangun instrumen evaluasi akan menjadi panjang (Klintberg, 1976). Dalam studi saat ini, pewawancara, analisa konten (materi) mereka, analisa silabus kursus, pertanyaan-pertanyaan pengukuran kebutuhan...adalah menyita waktu.
2.     Pendekatan responsif berdampak pada sebuah partisipasi audien untuk konstruksi dan untuk penggunaan instrumen. Menurut Stake (1983), orang-orang yang terlibat tidak selalu memilki pengalaman bahkan ahli dalam evaluasi dan oleh karenanya permasalahan mungkin saja dapat mencuat. Penyusunan pertanyaan pengukuran kebutuhan mengangkat sebuah contoh dari sebuah masalah, kita harus merubah prosedur pengenalan dan penafsiran akhir tidak mudah untuk diajukan.
3. Biaya operasional sangat tinggi. Schermerhorn dan Williams (1979) telah membandingkan biaya yang berhubungan dengan keduanya, yakni naturalistik dan model formalis dan ditemukan rasio $6,000/$570.00. Kita tidak dapat mendukung model figur tersebut sejak kita tidak mengisi biaya apapun. Bagaimanapun, itu adalah keyakinan kita bahwa kita telah melakukannya jadi kita akan menjadi pengguna yang tinggi dari sebuah model responsif.

Beberapa literatur menandai beberapa kekurangan yang tidak tercatat dalam studi kita:
  1. Menurut Rakel (1976), Sorlie dan Essex (1978), pendekatan tersebut tidak selalu sesuai untuk mengumpulkan informasi dan oleh karenanya penggunaan model lain sewaktu waktu dibutuhkan untuk melengkapi kekurangan model responsif.
  2. Van Hoose (1977) menegaskan dalam fakta tersebut bahwa, karena sifat fleksibilitasnya, model responsif moel dapat menjeneralisir beberapa kesulitan-kesulitan dalam memperbaiki fokus dan dalam mengumpulkan informasi.
  3. Hasil-hasil mungkin terlihat terlalu sederhana dan mengecewakan, jika seseorang mempertimbangkan cara yang telah mereka sajikan (gambaran) (Stake dan Pearson, 1981).
  4. Pendekatan tidak begitu efektif jika seseorang mencoba menemukan jawaban untuk pertanyaan khusus, identifikasi sejak mulai atau jika seseorang mencoba untuk membuktikan daripada membandingkan.

Bagaimanapun, kita telah mengidentifikasi beberapa kekurangan yang tidak ditemukan dalam studi literatur.
  1. Jika pendekatan membuat sebuah kondisi kerjasama dan mengizinkan identifikasi perlawanan, itu dapat juga melindungi pelaku evaluasi dibawah keinginan stakeholder. Untuk mudahnya, saat kita menyajikan kepada para pelaku administrasi gambaran dari situasi, mereka bersikap seperti layaknya orang yang tidak dapat dipercaya.
  2. Model responsif mengizinkan informasi untuk memunculkan dan meminta dengan tegas dalam implikasi para pengguna. Tetapi dalam pelaksanaan yang demikian, proses akan melambat. Untuk mudahnya, wawancara yang diadakan di antara kelompok drop out dan kelompok yang lulus telah bermanfaat dalam menggambarkan situasi, akan tetapi mereka juga terhasut reaksi kekerasan dari para administrator dan dihasilkan dalam sebuah penundaan yang penting.
  3. Pendekatan sangat diingini oleh pelaku evaluasi dan sepertinya tidak mudah diakses. Para pelaku evaluasi harus memiliki adaptasi kemapuan yang hebat dan kebanyakan dari pelaku penelitian (Pengelolaan sikap  perlawanan stakeholder, penyesuaian informasi terhadap para pendengar yang beragam, dan seterusnya).

Rekomendasi berikut akan menyimpulkan hasil makalah ini.

  1. Guba dan Lincoln (1981) berbicara tentang perjanjian yang harus ditandatangani, pada awal oleh keduanya, pelaku evaluasi dan stakeholder, yanbg harus mengkhususkan peraturan sebaik penih tanggung jawab dari setiap fihak, Kita tidak percaya bahwa sebuah evaluasi dapat dilaksanakan tanpa sebuah perjanjian atau sekurangnya piagam tertentu sebuah kesepakatan. Bagaimanapun, kita berfikir bahwa hal itu hampir-hampir menjajah jika seseorang mengingini penggunaan model evaluasi responsif. Struktur menjadi fleksibel dan implikasi dari stakeholder menjadi mantap, pelaku evaluasi dengan sebuah perjanjian dapat menempatkan kembali secara objektif orang-orang ke dalam proses dan dalam yang demikian tersebut melakukan perlindungan terhadap dirinya sendiri melawan “perubahan mood yang mendadak”.
  2. Pada permulaan proses dan supaya dapat meminimalisir penyimpangan-penyimpangan dan kesalahfahaman dan untuk maksimalisasi kolaborasi, pelaku evaluasi harus memberitahukan mengenai proses dan prosedur kepada semua orang yang kolaborasi (kerjasama) mereka itu dibutuhkan. (contoh: draft kebutuhan yang diajukan kepada staf pengajaran).
  3. Dalam situasi di mana pelaku evaluasi bukan seorang spesialis dalam bidang program, ia harus melibatkan seorang spesialis dalam menjamin kolaborasi datanya.
Akhirnya, kita meminta dengan tegas secara fakta bahwa umpan balik yang mantap adalah sebuah kondisi yang sangat penting bukan saja untuk evaluasi responsif tetapi juga untuk semua pendekatan evaluasi.

DAFTAR PUSTAKA
Berk, R.A. et Rossi, P.H. (1976) Doing Good or Worst: Evaluation Research Politically Re-examines. Sosial Problems. 3, 337-349.

Borich, G.D. et Jemelka, R.P. (1982) Programs and System. The Educational Technology Series. Toronto: Academic Press.

Caro, F.G. (1971). Issues in the Evaluation of Social Programs. Review of Educational Research, 41 (2), 87-114.

Cochran, N. (1980). Society as Emergent and more than Rational: An Essay on the inappropriateness of program Evaluation. Policy Sciences, 12 (2), 113-129.

Coleman, N. (1980). Policy Research and Political Theory. University of Chicago Record, 14 (2).

Datta, L.E. (Ed.). (1981). Evaluation in Change. Beverly Hills. Sage Publications.

Eisner, E.W. (1979). The Educational Imagination. New York: Basic Books.

Gord, N. (1981). The Stakeholder Process in Educational Program Evaluation. Washington, D.C.: National Institute of Education.

Guba, E.G. (1969). The Failure Of Education Evaluation. Educational Technology. 9, 29-38.

Guba, E.G. et. Lincoln, Y.S. (1981). Effective Evaluation. San Fransisco: Jossey-Bass Publishers.

House, E.R. (1980). Evaluating with validity. Beverly Hills. Sage Publication Inc.

Hurteau, M. (1984). une Approche Naturaliste: L’evaluation du certificat de relations industrielles I a la faculte de L’education permanente (Universite de Montreal) au moyen du modele conjoncturel. These de doctorat en mesure et evaluation, universite Laval. Quebec.

Kalman, M. (1976). use of Responsive Evaluation in Statewise Program Evaluation. Studies in Education Evaluation, 2 (1), 9-18.

Kaufman, R, et English, F. W. (1979). Needs Assesment: Concepts and Aplication. Educational Technology Publications. New Jersey: Englewood Cliffs.

Klintberg, I.G. (1976). A Responsive Evaluation of Two Programs in Medical Education. Studies in Educational Evaluation, 2 (1) 23-30.

Levine, M. (1974). Scientific Method and the Adversary. American Psychologist. 1, 666-667.

Michael N. (1984). Realistic Evaluation. Ritualistic Evaluation and the Implication for the utilization of Evaluation Data. Conference donnee dans le cadre du Congres Evaluation ’84. San Fransisco.

Newcomer, D. et. Bernstein, D. (1984). Achieving Excellence Through the Use of a Utilization-Focused Evaluation Aproach. Conference donnee dans le cadre du Congres Evaluation ’84, San Francisco.

Owens, T.R. (1974). Educational Evaluation by Adversary Proceeding. Dans R.E. House (Ed.) School Evaluation. Berkeley: Mc Cutchan.

Parlett, M. et Hamilton, D. (1976). Evaluation as Illumination: A New Approach to the study of Innovatory Programs. Dans G.V. Glass (Ed.) Evaluation Studies, Review Manual, Vol. 1. Beverly Hills: Sage Publication.

Patton, M.Q. (1978). Utillization- Focused Evalution. Beverly Hills: Sage Publications.

Preskill, H. (1983). Notes on Being Responsive: Evaluating a Graduate Nursing Program Conference donne dans le cadre du Congres Evaluation ’83, Chicago.

Rackel, R.E. (1976). A Summary: Responsive Evaluation and Family Practice. Studies in Educational Evaluation, 2 (1), 35-36.

Rippey, R.M. (1973). Studies in Transactional Evaluation. Berkeley, Mc. Cutchan Publishing Corporation.